Berita tersebut dikutip dari peneliti Perkumpulan Prakarsa, yang merujuk pada studi oleh Guanghua Wan and Iva Sebastian berjudul “Poverty in the Asia and Pacific: an Update”, yang diterbitkan sebagai makalah kerja (working paper) Bank Pembangunan Asia (ADB), Agustus 2011. Temuan ini berbeda dengan angka resmi acuan pemerintah Indonesia. Menurut perhitungan pemerintah yang diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional - Badan Pusat Statistik (SUSENAS - BPS), angka kemiskinan justru mengalami penurunan dari 35 juta di tahun 2008 menjadi 31 juta orang di tahun 2010. Di tahun 2011 angka kemiskinan terus turun menjadi 30 juta jiwa.
Karena perbedaan angka kemiskinan akan membawa implikasi pada penilaian atas kebijakan yang sudah dan akan diambil, pemerintah berkepentingan untuk mengkaji berbagai perhitungan yang dilakukan, dan membandingkan dengan perhitungan pemerintah. Pada akhirnya, setiap perbedaan hasil adalah masukan untuk menyempurnakan perhitungan angka kemiskinan.
Tulisan ini menanggapi tiga kritik yang disebut di atas. Inti dari tulisan ini adalah: 1) data survei menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan, 2) analisis sensitivitas menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin secara konsisten menurun meskipun menggunakan garis kemiskinan yang lebih tinggi, dan 3) adanya kesempatan bagi penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan.
Jumlah Penduduk Miskin Menurun, Bukan Meningkat
Pada dasarnya, untuk menghitung jumlah orang miskin diperlukan 2 data: pertama, distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk Indonesia. Kedua, garis kemiskinan itu sendiri. Tanpa dua data tersebut sudah tentu tidak dapat dihitung jumlah orang yang dikategorikan sebagai penduduk miskin. Dari hasil kajian yang dilakukan beberapa peneliti ahli di Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai klarifikasi dari perhitungan Wan dan Sebastian.
Menurut rilis Perkumpulan Prakarsa, garis kemiskinan ditetapkan sebesar Rp 7.000 di tahun 2008 dan Rp 7.800 di tahun 2010. Disebutkan bahwa angka ini mengacu pada garis kemiskinan US$1.25 dalam Purchasing Power Parity (PPP) yang digunakan oleh Wan dan Sebastian. Untuk mereplikasi temuan itu, TNP2K menerapkan garis kemiskinan tersebut pada distribusi pendapatan yang didapat dari SUSENAS. Mengapa SUSENAS? Karena hanya melaui SUSENAS, survei rumah tangga tahunan berskala nasional, kita dapat memperoleh distribusi konsumsi/pendapatan penduduk Indonesia. Walaupun pernah dilakukan survei rumah tangga lain oleh UGM–RAND Corporation (SAKERTI/IFLS), namun survei tersebut hanya dilakukan beberapa kali dengan sampel yang jauh lebih kecil. Garis kemiskinan sebesar itu ekuivalen dengan Rp 210.000 per kapita per bulan pada tahun 2008, Rp 234.000 per kapita per bulan pada tahun 2011. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut (Tabel 1):
Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin Menggunakan Garis Kemiskinan
Rp7.000 dan Rp7.800/Kapita/Hari
TAHUN | GARIS KEMISKINAN | JUMLAH PENDUDUK MISKIN | |
SUSENAS | WAN DAN SEBASTIAN (2011) | ||
2008 | Rp. 7.000/kapita/hari | 63,8 Juta | 40,1 Juta |
| Rp. 210.000/kapita/bulan | | |
| | | |
2010 | Rp. 7.800/kapita/hari | 51,9 Juta | 43,1 Juta |
| Rp. 234.000/kapita/bulan | | |
| | | |
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebenarnya perhitungan Wan dan Sebastian menghasilkan jumlah penduduk miskin yang lebih kecil. Dengan nilai garis kemiskinan yang sama, maka harusnya jumlah penduduk miskin adalah 63,8 juta di tahun 2008. Sementara Wan dan Sebastian (dan dikutip oleh Perkumpulan Prakarsa) mengatakan bahwa jumlah penduduk miskin ‘hanya’ 40,1 juta jiwa. Tim ahli TNP2K tidak dapat mereplikasi angka yang dihasilkan oleh Wan dan Sebastian.
Mengapa ada perbedaan? Dalam studinya, Wan dan Sebastian menjelaskan bahwa angka-angka kemiskinan yang mereka sajikan merupakan hasil prediksi dengan menggunakan estimasi elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (growth elasticity of poverty). Dengan demikian, perhitungan jumlah penduduk miskin bukan didapat dari data distribusi pendapatan atau pengeluaran penduduk aktual SUSENAS atau survei rumah tangga lainnya.
Perlu dipahami bahwa tujuan studi Wan dan Sebastian adalah memberikan tinjauan tentang kondisi kemiskinan di kawasan Asia dan Pasifik. Mereka ingin menghubungkan dengan dampak dari krisis ekonomi global tahun 2008. Jadi studi ini harus dilihat sebagai sebuah kanvas besar yang menggambarkan situasi seluruh kawasan, bukan untuk tiap negara. Tidak semua negara punya survei rumah tangga yang baik dan dilakukan secara reguler. Untuk negara-negara ini, bisa dimengerti jika perhitungan dampak krisis terhadap kemiskinan hanya bisa dilakukan lewat prediksi. Tapi dalam kasus Indonesia, dengan adanya SUSENAS memungkinkan kita melakukan perhitungan berdasarkan data aktual, yang tentunya lebih menggambarkan realitas. Data 2008-2010 yang dipaparkan oleh Wan dan Sebastian bukanlah data antarwaktu yang konsisten dan bukan berdasarkan realisasi tetapi berdasarkan prediksi yang metodologinya dapat bervariasi.
Hal utama yang perlu ditekankan bahwa dalam mengukur kemiskinan diperlukan konsistensi metodologi antar waktu. Apabila prinsip ini dipegang secara ketat maka pernyataan tentang bertambahnya jumlah penduduk miskin di Indonesia antara tahun 2008 dan 2010 secara akademis sulit dipertanggungjawabkan.
Walaupun perhitungan jumlah orang miskin versi pemerintah tidak lepas dari kelemahan, namun demikian temuan Wan dan Sebastian tidak cukup sahih untuk menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun 2008 ke 2010 meningkat.
Sisi lain dari perdebatan soal angka kemiskinan adalah berapa seharusnya garis kemiskinan ditetapkan? Betulkah pemerintah menerapkan garis kemiskinan yang terlalu rendah sehingga angka kemiskinan menjadi kecil?
Metodologi pengukuran kemiskinan telah cukup berkembang dan beberapa metodologi standar telah berhasil dibakukan. Indonesia, misalnya, menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan hidup minimum. Menurut pendekatan ini, garis kemiskinan didefinisikan sebagai pengeluaran yang diperlukan untuk memperoleh sekeranjang makanan dengan kandungan 2.100 kilo kalori per kapita per hari (Widyakarya Pangan dan Gizi Nasional 1978) ditambah dengan pengeluaran untuk memperoleh sejumlah komoditas bukan makanan yang dianggap penting. Penduduk miskin, dengan demikian, adalah mereka yang pengeluaran per kapita di bawah Garis Kemiskinan. Metodologi BPS bukannya tanpa kelemahan, akan tetapi tidak ada metodologi yang sempurna dan metodologi yang digunakan BPS lazim dipraktekkan di banyak negara di Dunia.
Pengukuran lain adalah apa yang disebut sebagai ‘garis kemiskinan internasional’ yang diperkenalkan oleh Bank Dunia. Garis kemiskinan internasional dimaksudkan untuk menjadi standar yang memungkinkan perbandingan angka kemiskinan antarnegara. Dalam pendekatan ini, garis kemiskinan ditetapkan sebagai pengeluaran sebesar US$1,25 dan US$2 per orang perhari dalam nilai tukar purchasing power parity (PPP), bukan nilai tukar pasar. Nilai tukar PPP menggambarkan daya beli riil di tiap negara. Uang sebesar US$1 di Amerika Serikat hanya bisa digunakan untuk membeli pop corn, tapi di India atau Kenya bisa membeli seporsi makan siang sederhana. Perbedaan daya beli inilah yang coba ditangkap dalam nilai tukar PPP. Nilai tukar PPP dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survei yang biasanya dilakukan setiap lima tahun sekali.
Perlu diketahui bahwa perhitungan jumlah penduduk miskin di Indonesia menggunakan dua garis kemiskinan yang berbeda. Pertama, garis kemiskinan untuk mereka yang tinggal di perdesaan. Kedua, garis kemiskinan untuk mereka yang tinggal di perkotaan. Bagi negara besar seperti Indonesia perlu dilakukan pembedaan garis kemiskinan perkotaan dan perdesaan, mengingat adanya perbedaan karakteristik diantara keduanya.
Tabel 2 menyajikan perbandingan garis kemiskinan nasional di Indonesia dengan garis kemiskinan internasional, pada standar US$1,25 per hari, setelah dikonversi ke dalam pengeluaran per bulan. Ada dua hal penting yang bisa ditarik dari Tabel 2. Pertama, garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah selalu berubah tiap tahun, menyesuaikan dengan harga-harga kebutuhan hidup yang meningkat. Kedua, terlihat bahwa garis kemiskinan versi pemerintah tidak jauh berbeda dengan garis kemiskinan internasional. Untuk perdesaan, garis kemiskinan nasional bahkan nilainya lebih tinggi dari garis kemiskinan internasional. Artinya, perhitungan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah secara umum cukup konsisten dan bisa dibandingkan dengan perhitungan menurut garis kemiskinan internasional.
Tabel 2. Perbandingan garis kemiskinan nasional dan internasional
| Garis Kemiskinan (GK) (Rp/kapita/bulan) | ||||
TAHUN | NASIONAL | DESA | KOTA | ||
| Rupiah | Rupiah | US$ 1,25/hari (PPP) | Rupiah | US$ 1,25/hari (PPP) |
2008 | 182.636 | 161.831 | 160.968 | 204.896 | 227.074 |
2009 | 200.262 | 179.835 | 173.723 | 222.123 | 245.068 |
2010 | 211.726 | 192.354 | 179.682 | 232.989 | 253.475 |
2011 | 233.740 | 213.395 | 191.632 | 253.016 | 270.332 |
Bagaimana pengaruh perbedaaan garis kemiskinan terhadap perhitungan angka kemiskinan? Untuk lebih jelas, TNP2K menghitung jumlah penduduk miskin dan angka headcount ratio menggunakan data SUSENAS dan beberapa skenario garis kemiskinan: dari sepuluh persen hingga dua kali lebih tinggi dari garis kemiskinan yang ditetapkan sekarang. Ini bisa dilihat sebagai uji sensitivitas angka kemiskinan terhadap garis kemiskinan. Hasil perhitungan bisa dilihat di Tabel 3. Terlihat bahwa berapapun garis kemiskinan yang ditetapkan, baik jumlah penduduk miskin maupun headcount ratio secara konsisten menurun antarwaktu.
Dengan kata lain, anggapan bahwa pemerintah sengaja ‘memilih’ garis kemiskinan untuk menunjukkan prestasi yang baik dalam menurunkan tingkat kemiskinan adalah anggapan yang tidak tepat.
Tabel 3. Uji sensitivitas angka kemiskinan menurut beberapa besaran garis kemiskinan
Batas | Tahun 2006 | Tahun 2007 | Tahun 2008 | |||
Jmlh (juta) | % | Jmlh (juta) | % | Jmlh (juta) | % | |
GK | 39,3 | 17,76 | 37,2 | 16,58 | 34,9 | 15,42 |
1.1*GK | 52,0 | 23,49 | 50,6 | 22,56 | 49,2 | 21,71 |
1.2*GK | 65,6 | 29,63 | 64,0 | 28,54 | 63,0 | 27,81 |
1.4*GK | 91,7 | 41,44 | 89,8 | 40,05 | 86,4 | 38,11 |
1.6*GK | 114,5 | 51,74 | 113,7 | 50,72 | 109,2 | 48,16 |
1.8*GK | 134,7 | 60,85 | 132,6 | 59,12 | 129,0 | 56,92 |
2.0*GK | 150,2 | 67,87 | 147,9 | 65,97 | 145,9 | 64,35 |
Batas | Tahun 2009 | Tahun 2010 | ||
Jmlh (juta) | % | Jmlh (juta) | % | |
GK | 32,5 | 14,15 | 31,0 | 13,33 |
1.1*GK | 45,3 | 19,70 | 43,4 | 18,64 |
1.2*GK | 58,8 | 25,58 | 56,7 | 24,38 |
1.4*GK | 85,2 | 37,05 | 80,9 | 34,74 |
1.6*GK | 109,2 | 47,51 | 101,4 | 43,56 |
1.8*GK | 129,9 | 56,50 | 119,4 | 51,29 |
2.0*GK | 147,0 | 63,92 | 135,0 | 58,00 |
Banyak penduduk miskin bisa keluar dari kemiskinan
Isu ketiga terkait dengan distribusi pendapatan dan mobilitas vertikal. Kelompok Prakarsa seperti dikutip berbagai media mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir hanya sedikit jumlah penduduk miskin yang keluar dari kemiskinan, sementara penduduk menengah dan kaya terus mengakumulasi kekayaan. Makna implisit dari pernyataan ini adalah penduduk miskin di Indonesia ‘terperangkap’ dalam kemiskinan dan tidak punya mekanisme untuk keluar dari jerat kemiskinan. Benarkah begitu?
Data BPS menunjukkan bahwa setiap tahun jutaan penduduk Indonesia telah berhasil keluar dari kemiskinan. Misalnya, hampir 19 juta penduduk yang miskin pada 2008 telah berhasil keluar dari kemiskinan pada 2009. Akan tetapi, pada saat yang sama terdapat jutaan orang Indonesia yang jatuh miskin. Misalnya, 7,6% dari penduduk yang tidak miskin pada 2008 jatuh miskin pada 2009. Akibatnya, secara neto penurunan jumlah penduduk miskin yang cukup besar itu tertutup oleh adanya kelompok tidak miskin yang jatuh miskin. Pola yang sama juga terjadi antara 2009 dan 2010. Pada periode tersebut sebanyak 53% penduduk yang miskin pada 2009 keluar dari kemiskinan pada 2010 (lihat Tabel 4).
Tabel 4. Matriks Peralihan Penduduk Miskin yang Naik-Turun Status
| | Status Kemiskinan 2009 | |||
Status Kemiskinan 2008 | Unit | Miskin | Tidak Miskin | ||
| |||||
| Miskin | % | 45.6 | 54.4 | |
| Tidak Miskin | % | 7.6 | 92.4 | |
| |||||
| |||||
| | Status Kemiskinan 2010 | |||
Status Kemiskinan 2009 | Unit | Miskin | Tidak Miskin | ||
| | | | ||
| Miskin | % | 46.4 | 53.6 | |
| Tidak Miskin | % | 7.3 | 92.7 |
Penutup
“Poverty, like beauty, lies in the eyes of the beholder.” Demikian tulis ekonom Paul Orshansky beberapa tahun silam. Pernyataan ini tidak keliru. Siapa saja yang tergolong penduduk miskin, dan berapa yang masuk dalam kategori ini, sangat tergantung dari bagaimana kita mendefinisikan kemiskinan. Namun demikian, acuan yang jelas tentang siapa yang termasuk kelompok miskin tetap diperlukan. Dalam konteks kebijakan publik, acuan diperlukan untuk setidaknya dua alasan: Pertama, dalam rangka menetapkan siapa target penerima program bantuan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Kedua, mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan pembangunan di suatu negara. Untuk itu dibutuhkan standar kemiskinan yang konsisten dan bisa dibandingkan antarwaktu.
No comments:
Post a Comment