Tuesday, June 12, 2012

Gandalf's Gallery was founded as a non-profit making, educational website dedicated to the exhibition of art. The gallery claims no copyright over the art exhibited. Visitors may, therefore, download images for purely non-commercial purposes. If you feel that your copyright has been infringed, please contact the gallery immediately.

Jan van Goyen - A Windmill by a River [1642]


Although it was probably painted in The Hague, this is an outstanding example of the 'tonal phase' of Dutch landscape painting associated with the town of Haarlem. Van Goyen shows a flat landscape, featureless except for the windmill, small figures and distant buildings, as if from the top of a low hill. The sky occupies three-quarters of the picture space in this panoramic view; it is painted in a deliberately restricted palette of grey, brown, black and white enlivened only by a few strokes of yellow and green. The low horizon gives great prominence to the sky and clouds.

Jan Josephsz. van Goyen (1596 - 1656) was one of the main pioneers of naturalistic landscape in early 17th-century Holland. His many drawings show that he travelled extensively in Holland and beyond. In 1634 he is recorded painting in Haarlem, in the house of Isaac, the brother of Salomon van Ruysdael, who was another of the pioneers of realistic landscape painting in the north Netherlands.

[Oil on oak, 29.4 x 36.3 cm]

Edgar Degas - A Beach Scene [c.1869-70]


This picture has been dated to about 1876-77 but it may have been painted as early as the late 1860s. It was exhibited at the third Impressionist exhibition in 1877. It is almost certain that the central group of a young girl and maid was posed in the studio. In treatment the painting is distinct from the 'open-air' beach scenes of the artist's contemporaries, Claude-Oscar Monet and Eugene Boudin.

[Oil (essence) on paper on canvas, 47.5 x 82.9 cm]

Peter Paul Rubens - Portrait of Susanna Lunden (Le Chapeau de Paille) [c.1622-26]


The title Le Chapeau de Paille (The Straw Hat) was first used in the 18th century. In fact the hat is not straw; paille may be an error for poil, which is the French word for felt. The hat, which shades the face of the sitter, is the most prominent feature of the painting. The portrait is probably of Susanna Lunden, born Susanna Fourment, third daughter of Daniel Fourment, an Antwerp tapestry and silk merchant. Her younger sister Helena became Rubens's second wife in 1630. Susanna Fourment married her second husband Arnold Lunden in 1622. The portrait probably dates from about that time. The direct glance of the sitter from under the shadow of the hat, together with the ring on her finger, suggests that the painting is a marriage portrait. 

Rubens enlarged the painting as the work proceeded, adding a third strip of wood on the right and then enlarging the picture at the base. The additions created a greater expanse of sky, and Rubens added clouds to the right that contrast with the clearer sky to the left, from which the light falls across the body and hands.

[Oil on oak, 79 x 54.6 cm]

Monday, June 11, 2012

Paul Gauguin - Field of Derout-Lollichon [1886]

[Oil on canvas, 59.37 x 92.08 cm]

Style of Bartolome Esteban Murillo - A Young Man Drinking [1700-50]


The genre study shows a youth with vine leaves wrapped around his head clasping a wine bottle and drinking from a glass. This may be a copy of a lost original by Murillo, or an imitation, perhaps by a French painter of the first half of the 18th century.

[Oil on canvas, 62.8 x 47.9 cm]

Harald Giersing - The Judgement of Paris [1909]


The title of this piece refers to the Ancient Greek legend of Paris, who was called upon to decide who was more beautiful of the three goddesses Hera, Athena, and Aphrodite. Giersing’s painting is indeed peopled by three women and a man, but it might just as well be viewed as a studio scene where the women are models posing nude for a man, possibly the painter. At the same time, the prominent use of colour and lines direct attention away from the mythological narrative to the artistic devices used in the painting.

The ambiguity of the motif should be regarded as a deliberate strategy on Giersing’s (1881 - 1927) part. His ambition with this picture was to challenge and reinvent classic figure painting. The coarseness, the pared down palette, the indeterminable placement of the figures within the space, and, very significantly, the thick black contours undulating down the picture plane to form ornamental sequences were all fierce attacks against the finely hewn naturalistic norms prevalent at the time. 

The picture can be viewed as a proposal for a new, modern vein of figure painting that has the reality of art itself as its true content. The painting attracted a great deal of attention when it was first presented to the public in 1910, and it was instrumental in establishing Giersing’s position as one of the most important artists of the young generation of modernists.

Monday, March 26, 2012

Bantuan tunai vs bantuan usaha

Di artikel sebelum ini saya membahas beberapa hal mengapa Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah program kompensasi yang paling cocok untuk kondisi Indonesia. Beberapa rekan berpendapat, daripada untuk BLT sebaiknya dana penghematan subsidi BBM dialokasikan untuk memberikan bantuan usaha kepada penduduk miskin atau pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Argumennya, program seperti ini lebih mendidik dan tidak menciptakan ketergantungan penerima.

Saya setuju bahwa program bantuan modal usaha (atau semacamnya) adalah program yang baik dan perlu ada. Tapi bukan sebagai program kompensasi untuk kelompok miskin ketika terjadi guncangan ekonomi. Sebagai sebuah program kompensasi, bantuan tunai seperti BLT memiliki beberapa kelebihan: bisa dijalankan secara cepat karena melibatkan prosedur yang sederhana, biaya transaksi yang kecil, manfaat bisa langsung dinikmati oleh penerima saat itu juga, dan memberikan fleksibilitas bagi penerima dalam menggunakan uangnya.

Program bantuan usaha, di sisi lain, melibatkan proses yang lebih panjang. Dari mulai perencanaan, pra-implementasi, saat implementasi dan sesudahnya. Dalam mendesain sebuah program bantuan usaha, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:

Hibah atau pinjaman?

Jika dana diberikan dalam bentuk hibah, pengelola program tidak dibebani oleh target pengembalian dan rasio kredit macet. Ini bisa menciptakan moral hazard jika penerima tahu bahwa mereka tidak punya kewajiban untuk mengembalikan. Ini akan menimbulkan konsekuensi yang sama, bahkan lebih buruk dari BLT: penyedia kredit mikro yang berbasis komersil bisa tergusur, dan pada akhirnya penduduk miskin dan pelaku UMKM akan tergantung pada program pemerintah.

Alternatifnya, dana program bisa diberikan sebagai hibah pada Lembaga Kredit Mikro (LKM) seperti Koperasi. Lalu LKM akan menyalurkan ke penerima sebagai pinjaman. Ini skema yang lebih baik. Tapi skema ini menyaratkan bahwa pemerintah punya data yang lengkap tentang LKM, dan LKM tersebar secara merata termasuk di tempat terpencil.

Jika dana diberikan dalam bentuk pinjaman, maka pengelola program perlu memastikan bahwa penerima bisa dan akan mengembalikan pinjaman beserta bunga (kalau ada). Jika dana disalurkan sebagai pinjaman, maka akan ada sejumlah pertimbangan lanjutan.

Kriteria seleksi

Apakah penerima program adalah mereka yang sudah punya usaha, atau mereka yang berniat memulai usaha? Kalau untuk yang sudah punya usaha, berapa lama sedikitnya usaha sudah berjalan (standar bank komersil adalah 2 tahun)? Apakah perlu penilaian tambahan seperti kinerja usaha selama ini? Jika kinerja adalah syarat untuk mendapatkan pinjaman, implikasinya adalah mereka yang kinerjanya jelek bisa jadi tidak mendapatkan pinjaman. Padahal siapa tahu mereka justru butuh pinjaman untuk melanjutkan usaha.

Memberikan pinjaman kepada mereka yang sudah berusaha akan mengurangi risiko kredit macet. Masalahnya, bagaimana dengan mereka yang mau berusaha tapi tidak bisa memulai usaha karena tidak punya modal? Bisakah mereka menjadi target penerima program? Jawabannya bisa saja. Tapi risiko usaha yang dirintis gagal sehingga kredit jadi macet juga lebih besar. Memberikan bantuan berdasarkan proposal bisa memperkecil risiko. Hanya perlu diingat, kita berbicara tentang penduduk miskin atau pelaku UMKM yang kebanyakan tidak atau belum punya kemampuan membuat proposal bisnis yang layak.

Untuk pelaku usaha pemula, mungkin skema hibah lebih tepat dibanding pinjaman. Dengan catatan, perlu dicari skema yang bisa mengurangi moral hazard. Pilihan lain adalah lewat skema penyertaan modal atau joint venture. Tentu dengan implikasi lanjutan serta kompleksitas program yang lebih besar.

Mekanisme penyaluran

Pemerintah bisa mengelola dan menyalurkan langsung program bantuan usaha. Masalahnya, birokrasi pemerintah bukanlah institusi terbaik untuk menyeleksi, mengidentifikasi penduduk miskin atau pelaku UMKM yang paling tepat dan layak menerima program. Pemerintah bisa mempertimbangkan untuk mengalihdaya (outsource) proses seleksi dan penyaluran bantuan. Tapi artinya ada biaya serta proses tambahan unuk menyelenggarakan program.

Program bantuan bisa disalurkan lewat bank. Tapi kita tahu bahwa cakupan layanan bank tidak menjangkau daerah terpencil, terkonsentrasi di kota-kota dengan skala kegiatan ekonomi yang cukup besar. Artinya, banyak calon penerima program yang tidak bisa mendapat akses. Dan pengalaman dari program Kredit Untuk Rakyat (KUR), bank memiliki prosedur dan persyaratan tertentu untuk menyalurkan pinjaman yang membuat banyak penduduk miskin atau pelaku UMKM tidak bisa mengakses layanan bank.

Alternatif lain adalah menyalurkan lewat LKM atau koperasi. Seperti disebut di atas, masalahnya adalah bagaimana memilih mitra LKM atau koperasi, mengingat banyak LKM dan koperasi tidak punya struktur kepengurusan yang jelas. Bisa saja pemerintah mendirikan LKM sebagai kendaraan dalam menyalurkan program (mirip yang dilakukan oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Dalam banyak hal sayangnya ini tidak menyelesaikan masalah akuntabilitas, principal-agent, serta ketepatan sasaran. Dan itu juga berarti perlu ada proses tambahan dalam menjalankan program.

Memastikan dana digunakan untuk usaha

Baik sebagai hibah atau pinjaman, baik ditujukan pada mereka yang sudah punya usaha atau yang baru akan mulai, sebagai program “bantuan usaha” maka pemerintah harus memastikan bahwa dana benar-benar digunakan untuk usaha. Bukan untuk konsumsi, bukan untuk membayar hutang. Ini berarti pengelola program perlu melakukan verifikasi dan pemantauan yang reguler, dan tentunya enforcement. Artinya, ada biaya tambahan untuk itu. Kalau tidak, maka pada dasarnya program bantuan usaha akan berakhir menjadi bantuan tunai. Bahkan lebih buruk, karena program yang salah desain akan mematikan pelaku LKM yang ada dan dijalankan secara komersil.

Pertanyaan yang lebih fundamental, bagaimana dengan mereka yang memang perlu bantuan atau pinjaman tunai (fresh cash) untuk keperluan lain seperti uang sekolah anak, membeli makan, membayar hutang dan lainnya, yang terjadi akibat guncangan ekonomi? Apakah karena BLT dianggap tidak mendidik, maka kita menafikan mereka yang memang perlu uang untuk keperluan-keperluan mendesak?

Sekali lagi, saya sepakat bahwa program-program yang memberikan bantuan usaha perlu ada. Tapi bukan sebagai program kompensasi yang memang berorientasi jangka pendek. Program bantuan usaha adalah program yang berorientasi jangka panjang, jadi tidak cocok dijalankan sebagai crash program.

Maka pepatah “lebih baik memberi kail daripada ikan” harus kita tempatkan secara proporsional. Tidak semua orang adalah entrepreneur alami yang langsung bisa menggunakan kail ketika diberikan. Tidak mungkin kita memberikan kail pada mereka yang akan terancam kelaparan. Beberapa orang punya potensi untuk menjadi entrepreneur tapi perlu beberapa tahapan sebelum mereka menjadi penerima progran bantuan usaha. Beberapa orang tidak akan pernah menjadi entrepreneur dan kita harus punya bentuk program yang lain tepat bagi kelompok ini.

Artinya, dalam bangunan kebijakan perlindungan sosial yang menyeluruh, kita perlu punya menu kebijakan yang cukup luas. Ini seharusnya yang jadi fokus perdebatan seputar penurunan subsidi BBM.


Monday, March 5, 2012

Mengapa Bantuan Langsung Tunai? Bagian 2

Baca bagian 1

Evaluasi BLT 2005 dan 2008

Ada beberapa kritik standar terhadap BLT: jumlahnya tidak cukup, membuat malas dan tergantung, rawan korupsi, tidak tepat sasaran, mengurangi modal sosial serta menimbulkan kerawanan masyarakat. Berikut ini adalah beberapa temuan dari studi BLT 2005 dan 2008. Kecuali disebut spesifik, temuan-temuan ini didapat dari data SUSENAS 2005, 2007, 2008 dan 2009 yang saya kutip dari studi Social Assistance Public Expenditure Review oleh Bank Dunia Jakarta (2011).

Jumlahnya tidak cukup. Besar BLT Rp100ribu per bulan ekuivalen dengan 12-15 persen konsumsi bulanan Rumah Tangga Miskin di tahun 2008. Antara 2008-2009, tingkat partisipasi anak usia 6-18 tahun dari Rumah Tangga penerima BLT naik sebesar 1.2% (2.6% untuk usia 12-18 tahun), sementara rasio anak usia sekolah yang bekerja turun sebesar 2.3%. Ini menunjukkan bahwa BLT memberikan ruang bagi Rumah Tangga Miskin untuk tetap mempertahankan anaknya di sekolah, dan menurunkan tekanan untuk membuat anak ikut bekerja.

Membuat malas dan tergantung. Di saat yang sama, BLT dikritik karena membuat malas dan tergantung. Jumlah Rp100 ribu per bulan sesungguhnya tidak cukup besar untuk memberikan insentif negatif terhadap pasar kerja. Data SUSENAS menunjukkan hal ini. Antara tahun 2005 (sebelum penyaluran BLT) dan 2007, tidak terjadi perubahan signifikan dalam jam kerja kepala Rumah Tangga penerima BLT. Data SUSENAS juga tidak menunjukkan ada perbedaan pola jam kerja antara rumah tangga penerima dan non-penerima BLT dengan tingkat konsumsi yang sama. Bahkan antara 2008-09, kepala Rumah Tangga penerima BLT memiliki probabilitas lebih besar untuk mendapat pekerjaan baru dibandingkan non-BLT.

Rawan korupsi. Ada sejumlah laporan pemotongan bantuan, tapi jumlahnya relatif kecil (untuk standar Indonesia, sangat kecil). Di tahun 2008, 6 % responden menjawab mereka menerima kurang dari Rp300 ribu di pembayaran pertama, dan 11 %di pembayaran kedua. Alasan pemotongan pun beragam. Sebanyak 57% responden menjawab mereka dipotong oleh Kepala Desa untuk dibagikan pada penduduk desa lain yang dianggap miskin tapi tidak menerima (77% di pembayaran kedua). Alasan lain yang banyak ditemukan adalah pemotongan untuk transportasi penerima ke Kantor Pos dan biaya pembuatan KTP.

Tidak tepat sasaran. BLT 2005 dan 2008 secara umum bersifat regresif: persentase rumah tangga yang menerima BLT menurun seiring dengan kenaikan tingkat pendapatan. Tapi masih banyak ruang untuk perbaikan, karena masih ditemukannya inclusion dan exclusion error. Tingkat targeting error BLT 2005 dan 2008 lebih baik dari program-program lain seperti Raskin atau Askeskin, karena didasarkan atas database penerima sasaran yang lebih baik. Meski untuk standar internasional, kinerja targeting BLT di bawah program-program sosial di Amerika Latin. Tapi ini sedikit banyak menggambarkan distribusi pendapatan di Amerika Latin yang lebih buruk, sehingga identifikasi penduduk termiskin lebih mudah dilakukan.

Menciptakan kerawanan dan menurunnya modal sosial. Ini adalah kritik yang harus diakui valid dan punya alasan kuat. Berbagai laporan media sering menunjukkan kerusuhan, perusakan dan intimidasi terkait penyaluran BLT. Meski dalam banyak hal, laporan media tidak selalu bisa jadi dasar untuk generalisasi karena insiden kerusuhan, perusakan dan intimidasi tidak tersebar secara merata di seluruh lokasi penyaluran BLT. Tapi fakta bahwa ada berbagai masalah dalam penyaluran BLT tidak bisa dikesampingkan. Masalah utama ada pada mistargeting.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang bisa dan perlu dilakukan? Pilihan pertama adalah menghapus BLT sama sekali dan mencari instrumen kebijakan lain. Terkait dengan itu, bisa lihat ulasan sebelum ini tentang kriteria dan pilihan kebijakan alternatif atau kebijakan yang ada. Pilihan kedua adalah memperbesar cakupan penerima BLT, sehingga exclusion error (yang layak menerima tapi tidak menerima BLT) menjadi lebih kecil. Pilihan lain adalah memperbaiki data penargetan?

Kabar baiknya, dua pilihan terakhir sudah dilakukan. Penyaluran BLT mendatang (yang akan disebut Bantuan Langsung Sementara untuk Masyarakat, BLSM) akan mencakup jumlah penerima yang lebi besar, 18.5 juta Rumah Tangga Miskin (sekitar 30% termiskin dari seluruh populasi). Selain itu, database penerima yang lebih baik, dalam arti metode identifikasi penduduk miskin yang lebih baik dibanding yang ada sebelum ini, sudah dilakukan. Sementara pilihan pertama, mengganti BLT dengan program-program lain, tidak perlu dilakukan. Karena kita bisa tetap menyalurkan BLT, di saat yang sama mempertahankan (bahkan memperkuat) program-program lain.

Ringkasan

“Memberi kail lebih baik dari memberi ikan.” Ungkapan ini tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Dalam konteks tertentu, orang tetap butuh ikan. Tentu dalam konteks sistem perlindingan sosial secara makro, kita perlu program yang mencakup berbagai hal, dari memberi ikan, memberi kail, mengajari cara memakai kail, memastikan pemancing tidak tenggelam, dan sebagainya. Sekali lagi, sisi baiknya, Indonesia sedang bergerak ke arah itu.

Ada beberapa perubahan dalam penyaluran BLT tahun 2012 ini (yang akan disebut BLSM). Ini dilakukan mengacu pada berbagai kekurangan pada BLT tahun 2005 dan 2007. Perbaikan ini tidak akan menjamin penargetan yang sempurna – karena di manapun targeting error tidak pernah bisa mencapai nol persen. Tapi perbaikan dari data penargetan adalah respon positif dari pengakuan atas kekurangan yang ada. Di saat yang sama, perbaikan pada program-program lain tetap berjalan.

Ada dua hal yang tidak dibahas dalam artikel ini. Pertama, alasan kenaikan harga BBM dan apakah itu langkah yang perlu dan betul. Itu sudah banyak diulas di berbagai kesempatan. Kedua, komentar yang mengaitkan BLT dengan tujuan politik. Saya bukan ahli politik yang bisa membahas hal itu. Yang jelas, pengalaman di Brazil, Chile, Mexico dan banyak negara juga menunjukkan bahwa program Bolsa Familia, Solidario, Oportunidades dan lainya pernah dikritik dan dituding sebagai upaya vote buying oleh pemerintah yang berkuasa. Tapi tetap saja mereka dijadikan rujukan, termasuk oleh penyusun kebijakan di Indonesia, sebagai contoh ideal sistem perlindungan sosial untuk negara berkembang.

Mengapa Bantuan Langsung Tunai? Bagian 1

Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah sebuah program kompensasi untuk kelompok termiskin ketika terjadi sebuah guncangan ekonomi yang bisa mempengaruhi kesejahteraan kelompok itu. Di Indonesia, BLT diberikan saat terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang akan mempengaruhi harga-harga secara umum. Tapi secara prinsip, BLT atau mekanisme kompensasi secara umum bisa diberikan ketika terjadi guncangan ekonomi karena alasan-alasan lain, seperti bencana alam atau krisis ekonomi (cash for work bagi korban letusan Merapi adalah contoh program kompensasi).

Sebagai sebuah program kompensasi, tujuan BLT tentu bukanlah menurunkan tingkat kemiskinan secara keseluruhan. Fungsi BLT adalah menjaga tingkat konsumsi kelompok termiskin – yang umumnya tidak punya mekanisme lain seperti tabungan atau akses ke pinjaman untuk menjaga tingkat konsumsi – ketika guncangan ekonomi terjadi. Program kompensasi juga sifatnya sementara. Tapi ke depan perlu ada semacam protokol atau sistem dimana program seperti BLT atau cash for work bisa dijalankan tanpa melalui proses pengambilan kebijakan yang standar.

Beberapa kebijakan/program kompensasi di negara lain

Insentif pajak. Ini langkah yang banyak dilakukan di negara maju. Kebijakan ini bisa efektif jika basis pajak di suatu negara sudah besar, dan pencatatan serta administrasi pajak sudah rapi. Dengan basis pajak yang masih rendah, kebijakan ini tidak akan banyak berpengaruh.

Stimulus fiskal. Alternatif lain adalah menggunakan belanja pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian secara langsung. Mekanisme klasik adalah pemerintah mengeluarkan dana untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur, yang menciptakan permintaan pada tenaga kerja serta sumber penghasilan bagi individu. Tentu ini mengasumsikan bahwa pemerintah punya kemampuan untuk menciptakan dan menyerap proyek-proyek tersebut, anggaran turun tepat waktu, tidak ada problem dengan proses pengadaan/tender, dan proyek-proyek tersebut benar bisa menyerap tenaga kerja yang menganggur (bukan sekedar realokasi tenaga kerja). Pertimbangan lain adalah ada tenggang waktu hingga dampak dari direct spending pemerintah terhadap tingkat kesejahteraan penduduk miskin baru terasa. Ini perlu diperhatikan jika kita spesifik ingin memberi kompensasi pada kelompok miskin.

Transfer tunai dari pemerintah ke penduduk bisa dilihat sebagai varians dari stimulus fiskal. Dalam mekansime ini pemerintah langsung memberikan uang tunai kepada penduduk. Bantuan tunai bisa diberikan secara sama rata ke semua orang tanpa melihat karakteristik dan pendapatan, bisa diberikan secara targeted ke kelompok tertentu. Bisa diberikan tanpa kondisi apapun, bisa dikaitkan dengan beberapa ‘kewajiban’ dari penerima seperti harus menyekolahkan anaknya dan memeriksakan kesehatan secara rutin.

Tahun 2008-2009, merespon dampak krisis global, pemerintah Australia memberikan bantuan tunai kepada penduduknya. Penduduk di bawah tingkat pendapatan tertentu secara otomatis menerima transfer di rekening tabungan mereka. Bantuan juga diberikan pada penduduk yang melahirkan dan punya anak usia sekolah. Pada dasarnya ini adalah bantuan tunai, hanya penyalurannya dilakukan melalui rekening bank. Mekanisme ini sulit dilakukan di Indonesia karena mayoritas penduduk miskin belum bankable.

Apa kriteria program kompensasi untuk penduduk miskin yang cocok untuk kondisi Indonesia?

Bisa diimplementasikan secara cepat. Dalam arti tidak memerlukan perencanaan pra-implementasi yang terlalu sulit, proses pengadaan yang rumit, beban birokrasi yang tinggi, atau proses penyaluran yang panjang dari pemerintah hingga penerima.

Langsung mempengaruhi konsumsi atau tingkat kesejahteraan penerima. Bantuan kesehatan tentu bermanfaat bagi penduduk miskin. Tapi manfaatnya baru dirasakan saat penerima menggunakan layanan kesehatan. Program seperti ini tidak langsung membantu tingkat konsumsi penduduk miskin. Demikian halnya bantuan pendidikan; program ini membantu keluarga yang punya anak usia sekolah, tapi tidak menyelesaikan problem mereka yang ada di luar sistem sekolah (seperti anak jalanan) atau keluarga tanpa anak sekolah. Baik bantuan pendidikan dan kesehatan juga menyaratkan tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk miskin.

Bagaimana dengan bantuan dalam bentuk modal usaha? Bantuan modal usaha mengasumsikan bahwa penerima memiliki kemampuan wirausaha dan mampu mengelola usaha. Kenyataannya, tidak semua orang adalah wirausaha, apalagi di kelompok miskin. Bantuan modal usaha adalah satu instrumen kebijakan lain untuk mencapai tujuan lain, tapi bukanlah instrumen yang cocok untuk program kompensasi.

Jumlah bantuan yang diterima cukup. Tidak terlalu kecil, tapi tidak terlalu besar dan bisa membuat insentif negatif bagi penerima.

Diterima oleh mereka yang layak menerima. Implikasinya, didukung oleh sistem dan database penargetan yang kuat.

Biaya administrasi yang relatif kecil dalam menjalankan program. Ini mencakup biaya penyaluran dan distribusi, honorarium petugas, dan biaya-biaya lain.

BLT dan program-program kemiskinan lain di Indonesia

Ada persepsi bahwa BLT adalah satu-satunya program pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan. Sesungguhnya, ada berbagai program penanggulangan kemiskinan yang sudah berjalan. Masing-masing program memiliki tujuan, target sasaran, instrumen serta mekanisme intervensi yang berbeda. Dalam praktek, penerima BLT pun akan menerima sejumlah program lain di saat yang sama.

Betul bahwa program-program ini masih jauh dari sempurna. Tapi di saat yang sama, program-program ini adalah building block dalam membangun sebuah sistem perlindungan sosial yang kuat dan komprehensif. Negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Brazil, Chile atau Colombia juga berangkat dari program-program yang terpisah dan tidak terkoordinasi. Tapi sekarang mereka dianggap sebagai salah satu acuan dalam membangun sistem perlindungan sosial. Sisi baiknya, proses yang sama tengah berjalan di Indonesia.

Pertanyaanya, mengapa pemerintah masih perlu mengucurkan BLT, bukan menggunakan program yang ada sebagai program kompensasi? Merujuk ke kriteria program kompensasi di atas, mari kita lihat tiap program yang ada.

Raskin (beras untuk rakyat miskin). Problem dengan Raskin adalah dibutuhkan upaya dan dukungan logistik yang besar untuk mendistribusikan beras hingga ke penerima. Selain itu, diperlukan proses pengadaan beras yang tidak selalu bisa dijamin akan cukup, seandainya program Raskin di-scale up untuk menggantikan BLT. Pengalaman dari implementasi Raskin selama ini, tidak ada mekanisme yang menjamin bahwa beras Raskin diterima oleh rumah tangga yang harusnya menerima, karena ada praktek ‘bagi rata’ di desa kepada semua warga desa.

Program Keluarga Harapan (PKH). PKH adalah program bantuan tunai bersyarat. Penerima bantuan tunai memiliki ‘kewajiban’ untuk memastikan anak usia sekolah tidak putus sekolah, dan ibu hamil serta balita memeriksakan kesehatan secara rutin ke Puskesmas/Posyandu. PKH adalah program yang tujuannya memutus kemiskinan lintas generasi dengan memberi insentif bagi orang tua untuk melakukan investasi sumber daya manusia. Meski sama-sama memberikan bantuan tunai, PKH tidak cocok untuk menggantikan BLT sebagai program kompensasi jangka pendek karena:

1. PKH ditargetkan untuk keluarga miskin yang memiliki anak usia sekolah, balita dan ibu hamil. Sementara program kompensasi harusnya menjangkau seluruh keluarga miskin.

2. Kondisionalitas (‘kewajiban’) penerima PKH memberikan beban tambahan yang tidak kecil: pendampingan serta proses verifikasi. Ini membuat biaya administrasi untuk scale-up PKH menggantikan BLT menjadi sangat besar.

3. Scale-up PKH menyaratkan dukungan supply side (sarana pendidikan dan kesehatan) yang siap untuk menampung lonjakan penggunaan dari tambahan peserta PKH

Beasiswa Siswa Miskin (BSM), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Jamkesmas). Seperti sudah dibahas di atas, bantuan pendidikan dan kesehatan memiliki beberapa keterbatasan dalam menjalankan fungsi sebagai program kompensasi. Program-program ini memiliki tujuan lain yang tetap harus dipertahankan, bahkan diperbesar cakupannya. Tapi bukan untuk tujuan kompensasi.

Program Padat Karya, Cash for Work dan semacamnya. Dari sekian banyak alternatif, program-program penciptaan lapangan kerja sementara adalah alternatif yang paling ideal sebagai program kompensasi. Tapi harus diingat juga, ada keterbatasan kemampuan pemerintah untuk menciptakan sekian juta lapangan pekerjaan dalam waktu singkat. Artinya, program ini memerlukan perencanaan pra-implementasi yang panjang.


Bagian 2 - evaluasi BLT 2008