Monday, March 26, 2012

Bantuan tunai vs bantuan usaha

Di artikel sebelum ini saya membahas beberapa hal mengapa Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah program kompensasi yang paling cocok untuk kondisi Indonesia. Beberapa rekan berpendapat, daripada untuk BLT sebaiknya dana penghematan subsidi BBM dialokasikan untuk memberikan bantuan usaha kepada penduduk miskin atau pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Argumennya, program seperti ini lebih mendidik dan tidak menciptakan ketergantungan penerima.

Saya setuju bahwa program bantuan modal usaha (atau semacamnya) adalah program yang baik dan perlu ada. Tapi bukan sebagai program kompensasi untuk kelompok miskin ketika terjadi guncangan ekonomi. Sebagai sebuah program kompensasi, bantuan tunai seperti BLT memiliki beberapa kelebihan: bisa dijalankan secara cepat karena melibatkan prosedur yang sederhana, biaya transaksi yang kecil, manfaat bisa langsung dinikmati oleh penerima saat itu juga, dan memberikan fleksibilitas bagi penerima dalam menggunakan uangnya.

Program bantuan usaha, di sisi lain, melibatkan proses yang lebih panjang. Dari mulai perencanaan, pra-implementasi, saat implementasi dan sesudahnya. Dalam mendesain sebuah program bantuan usaha, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:

Hibah atau pinjaman?

Jika dana diberikan dalam bentuk hibah, pengelola program tidak dibebani oleh target pengembalian dan rasio kredit macet. Ini bisa menciptakan moral hazard jika penerima tahu bahwa mereka tidak punya kewajiban untuk mengembalikan. Ini akan menimbulkan konsekuensi yang sama, bahkan lebih buruk dari BLT: penyedia kredit mikro yang berbasis komersil bisa tergusur, dan pada akhirnya penduduk miskin dan pelaku UMKM akan tergantung pada program pemerintah.

Alternatifnya, dana program bisa diberikan sebagai hibah pada Lembaga Kredit Mikro (LKM) seperti Koperasi. Lalu LKM akan menyalurkan ke penerima sebagai pinjaman. Ini skema yang lebih baik. Tapi skema ini menyaratkan bahwa pemerintah punya data yang lengkap tentang LKM, dan LKM tersebar secara merata termasuk di tempat terpencil.

Jika dana diberikan dalam bentuk pinjaman, maka pengelola program perlu memastikan bahwa penerima bisa dan akan mengembalikan pinjaman beserta bunga (kalau ada). Jika dana disalurkan sebagai pinjaman, maka akan ada sejumlah pertimbangan lanjutan.

Kriteria seleksi

Apakah penerima program adalah mereka yang sudah punya usaha, atau mereka yang berniat memulai usaha? Kalau untuk yang sudah punya usaha, berapa lama sedikitnya usaha sudah berjalan (standar bank komersil adalah 2 tahun)? Apakah perlu penilaian tambahan seperti kinerja usaha selama ini? Jika kinerja adalah syarat untuk mendapatkan pinjaman, implikasinya adalah mereka yang kinerjanya jelek bisa jadi tidak mendapatkan pinjaman. Padahal siapa tahu mereka justru butuh pinjaman untuk melanjutkan usaha.

Memberikan pinjaman kepada mereka yang sudah berusaha akan mengurangi risiko kredit macet. Masalahnya, bagaimana dengan mereka yang mau berusaha tapi tidak bisa memulai usaha karena tidak punya modal? Bisakah mereka menjadi target penerima program? Jawabannya bisa saja. Tapi risiko usaha yang dirintis gagal sehingga kredit jadi macet juga lebih besar. Memberikan bantuan berdasarkan proposal bisa memperkecil risiko. Hanya perlu diingat, kita berbicara tentang penduduk miskin atau pelaku UMKM yang kebanyakan tidak atau belum punya kemampuan membuat proposal bisnis yang layak.

Untuk pelaku usaha pemula, mungkin skema hibah lebih tepat dibanding pinjaman. Dengan catatan, perlu dicari skema yang bisa mengurangi moral hazard. Pilihan lain adalah lewat skema penyertaan modal atau joint venture. Tentu dengan implikasi lanjutan serta kompleksitas program yang lebih besar.

Mekanisme penyaluran

Pemerintah bisa mengelola dan menyalurkan langsung program bantuan usaha. Masalahnya, birokrasi pemerintah bukanlah institusi terbaik untuk menyeleksi, mengidentifikasi penduduk miskin atau pelaku UMKM yang paling tepat dan layak menerima program. Pemerintah bisa mempertimbangkan untuk mengalihdaya (outsource) proses seleksi dan penyaluran bantuan. Tapi artinya ada biaya serta proses tambahan unuk menyelenggarakan program.

Program bantuan bisa disalurkan lewat bank. Tapi kita tahu bahwa cakupan layanan bank tidak menjangkau daerah terpencil, terkonsentrasi di kota-kota dengan skala kegiatan ekonomi yang cukup besar. Artinya, banyak calon penerima program yang tidak bisa mendapat akses. Dan pengalaman dari program Kredit Untuk Rakyat (KUR), bank memiliki prosedur dan persyaratan tertentu untuk menyalurkan pinjaman yang membuat banyak penduduk miskin atau pelaku UMKM tidak bisa mengakses layanan bank.

Alternatif lain adalah menyalurkan lewat LKM atau koperasi. Seperti disebut di atas, masalahnya adalah bagaimana memilih mitra LKM atau koperasi, mengingat banyak LKM dan koperasi tidak punya struktur kepengurusan yang jelas. Bisa saja pemerintah mendirikan LKM sebagai kendaraan dalam menyalurkan program (mirip yang dilakukan oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Dalam banyak hal sayangnya ini tidak menyelesaikan masalah akuntabilitas, principal-agent, serta ketepatan sasaran. Dan itu juga berarti perlu ada proses tambahan dalam menjalankan program.

Memastikan dana digunakan untuk usaha

Baik sebagai hibah atau pinjaman, baik ditujukan pada mereka yang sudah punya usaha atau yang baru akan mulai, sebagai program “bantuan usaha” maka pemerintah harus memastikan bahwa dana benar-benar digunakan untuk usaha. Bukan untuk konsumsi, bukan untuk membayar hutang. Ini berarti pengelola program perlu melakukan verifikasi dan pemantauan yang reguler, dan tentunya enforcement. Artinya, ada biaya tambahan untuk itu. Kalau tidak, maka pada dasarnya program bantuan usaha akan berakhir menjadi bantuan tunai. Bahkan lebih buruk, karena program yang salah desain akan mematikan pelaku LKM yang ada dan dijalankan secara komersil.

Pertanyaan yang lebih fundamental, bagaimana dengan mereka yang memang perlu bantuan atau pinjaman tunai (fresh cash) untuk keperluan lain seperti uang sekolah anak, membeli makan, membayar hutang dan lainnya, yang terjadi akibat guncangan ekonomi? Apakah karena BLT dianggap tidak mendidik, maka kita menafikan mereka yang memang perlu uang untuk keperluan-keperluan mendesak?

Sekali lagi, saya sepakat bahwa program-program yang memberikan bantuan usaha perlu ada. Tapi bukan sebagai program kompensasi yang memang berorientasi jangka pendek. Program bantuan usaha adalah program yang berorientasi jangka panjang, jadi tidak cocok dijalankan sebagai crash program.

Maka pepatah “lebih baik memberi kail daripada ikan” harus kita tempatkan secara proporsional. Tidak semua orang adalah entrepreneur alami yang langsung bisa menggunakan kail ketika diberikan. Tidak mungkin kita memberikan kail pada mereka yang akan terancam kelaparan. Beberapa orang punya potensi untuk menjadi entrepreneur tapi perlu beberapa tahapan sebelum mereka menjadi penerima progran bantuan usaha. Beberapa orang tidak akan pernah menjadi entrepreneur dan kita harus punya bentuk program yang lain tepat bagi kelompok ini.

Artinya, dalam bangunan kebijakan perlindungan sosial yang menyeluruh, kita perlu punya menu kebijakan yang cukup luas. Ini seharusnya yang jadi fokus perdebatan seputar penurunan subsidi BBM.


No comments:

Post a Comment