Monday, March 5, 2012

Mengapa Bantuan Langsung Tunai? Bagian 2

Baca bagian 1

Evaluasi BLT 2005 dan 2008

Ada beberapa kritik standar terhadap BLT: jumlahnya tidak cukup, membuat malas dan tergantung, rawan korupsi, tidak tepat sasaran, mengurangi modal sosial serta menimbulkan kerawanan masyarakat. Berikut ini adalah beberapa temuan dari studi BLT 2005 dan 2008. Kecuali disebut spesifik, temuan-temuan ini didapat dari data SUSENAS 2005, 2007, 2008 dan 2009 yang saya kutip dari studi Social Assistance Public Expenditure Review oleh Bank Dunia Jakarta (2011).

Jumlahnya tidak cukup. Besar BLT Rp100ribu per bulan ekuivalen dengan 12-15 persen konsumsi bulanan Rumah Tangga Miskin di tahun 2008. Antara 2008-2009, tingkat partisipasi anak usia 6-18 tahun dari Rumah Tangga penerima BLT naik sebesar 1.2% (2.6% untuk usia 12-18 tahun), sementara rasio anak usia sekolah yang bekerja turun sebesar 2.3%. Ini menunjukkan bahwa BLT memberikan ruang bagi Rumah Tangga Miskin untuk tetap mempertahankan anaknya di sekolah, dan menurunkan tekanan untuk membuat anak ikut bekerja.

Membuat malas dan tergantung. Di saat yang sama, BLT dikritik karena membuat malas dan tergantung. Jumlah Rp100 ribu per bulan sesungguhnya tidak cukup besar untuk memberikan insentif negatif terhadap pasar kerja. Data SUSENAS menunjukkan hal ini. Antara tahun 2005 (sebelum penyaluran BLT) dan 2007, tidak terjadi perubahan signifikan dalam jam kerja kepala Rumah Tangga penerima BLT. Data SUSENAS juga tidak menunjukkan ada perbedaan pola jam kerja antara rumah tangga penerima dan non-penerima BLT dengan tingkat konsumsi yang sama. Bahkan antara 2008-09, kepala Rumah Tangga penerima BLT memiliki probabilitas lebih besar untuk mendapat pekerjaan baru dibandingkan non-BLT.

Rawan korupsi. Ada sejumlah laporan pemotongan bantuan, tapi jumlahnya relatif kecil (untuk standar Indonesia, sangat kecil). Di tahun 2008, 6 % responden menjawab mereka menerima kurang dari Rp300 ribu di pembayaran pertama, dan 11 %di pembayaran kedua. Alasan pemotongan pun beragam. Sebanyak 57% responden menjawab mereka dipotong oleh Kepala Desa untuk dibagikan pada penduduk desa lain yang dianggap miskin tapi tidak menerima (77% di pembayaran kedua). Alasan lain yang banyak ditemukan adalah pemotongan untuk transportasi penerima ke Kantor Pos dan biaya pembuatan KTP.

Tidak tepat sasaran. BLT 2005 dan 2008 secara umum bersifat regresif: persentase rumah tangga yang menerima BLT menurun seiring dengan kenaikan tingkat pendapatan. Tapi masih banyak ruang untuk perbaikan, karena masih ditemukannya inclusion dan exclusion error. Tingkat targeting error BLT 2005 dan 2008 lebih baik dari program-program lain seperti Raskin atau Askeskin, karena didasarkan atas database penerima sasaran yang lebih baik. Meski untuk standar internasional, kinerja targeting BLT di bawah program-program sosial di Amerika Latin. Tapi ini sedikit banyak menggambarkan distribusi pendapatan di Amerika Latin yang lebih buruk, sehingga identifikasi penduduk termiskin lebih mudah dilakukan.

Menciptakan kerawanan dan menurunnya modal sosial. Ini adalah kritik yang harus diakui valid dan punya alasan kuat. Berbagai laporan media sering menunjukkan kerusuhan, perusakan dan intimidasi terkait penyaluran BLT. Meski dalam banyak hal, laporan media tidak selalu bisa jadi dasar untuk generalisasi karena insiden kerusuhan, perusakan dan intimidasi tidak tersebar secara merata di seluruh lokasi penyaluran BLT. Tapi fakta bahwa ada berbagai masalah dalam penyaluran BLT tidak bisa dikesampingkan. Masalah utama ada pada mistargeting.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang bisa dan perlu dilakukan? Pilihan pertama adalah menghapus BLT sama sekali dan mencari instrumen kebijakan lain. Terkait dengan itu, bisa lihat ulasan sebelum ini tentang kriteria dan pilihan kebijakan alternatif atau kebijakan yang ada. Pilihan kedua adalah memperbesar cakupan penerima BLT, sehingga exclusion error (yang layak menerima tapi tidak menerima BLT) menjadi lebih kecil. Pilihan lain adalah memperbaiki data penargetan?

Kabar baiknya, dua pilihan terakhir sudah dilakukan. Penyaluran BLT mendatang (yang akan disebut Bantuan Langsung Sementara untuk Masyarakat, BLSM) akan mencakup jumlah penerima yang lebi besar, 18.5 juta Rumah Tangga Miskin (sekitar 30% termiskin dari seluruh populasi). Selain itu, database penerima yang lebih baik, dalam arti metode identifikasi penduduk miskin yang lebih baik dibanding yang ada sebelum ini, sudah dilakukan. Sementara pilihan pertama, mengganti BLT dengan program-program lain, tidak perlu dilakukan. Karena kita bisa tetap menyalurkan BLT, di saat yang sama mempertahankan (bahkan memperkuat) program-program lain.

Ringkasan

“Memberi kail lebih baik dari memberi ikan.” Ungkapan ini tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Dalam konteks tertentu, orang tetap butuh ikan. Tentu dalam konteks sistem perlindingan sosial secara makro, kita perlu program yang mencakup berbagai hal, dari memberi ikan, memberi kail, mengajari cara memakai kail, memastikan pemancing tidak tenggelam, dan sebagainya. Sekali lagi, sisi baiknya, Indonesia sedang bergerak ke arah itu.

Ada beberapa perubahan dalam penyaluran BLT tahun 2012 ini (yang akan disebut BLSM). Ini dilakukan mengacu pada berbagai kekurangan pada BLT tahun 2005 dan 2007. Perbaikan ini tidak akan menjamin penargetan yang sempurna – karena di manapun targeting error tidak pernah bisa mencapai nol persen. Tapi perbaikan dari data penargetan adalah respon positif dari pengakuan atas kekurangan yang ada. Di saat yang sama, perbaikan pada program-program lain tetap berjalan.

Ada dua hal yang tidak dibahas dalam artikel ini. Pertama, alasan kenaikan harga BBM dan apakah itu langkah yang perlu dan betul. Itu sudah banyak diulas di berbagai kesempatan. Kedua, komentar yang mengaitkan BLT dengan tujuan politik. Saya bukan ahli politik yang bisa membahas hal itu. Yang jelas, pengalaman di Brazil, Chile, Mexico dan banyak negara juga menunjukkan bahwa program Bolsa Familia, Solidario, Oportunidades dan lainya pernah dikritik dan dituding sebagai upaya vote buying oleh pemerintah yang berkuasa. Tapi tetap saja mereka dijadikan rujukan, termasuk oleh penyusun kebijakan di Indonesia, sebagai contoh ideal sistem perlindungan sosial untuk negara berkembang.

No comments:

Post a Comment